Gambar Foto : Pixabay.com |
Buku Teknologi Budidaya Tanaman Jewawut - Seperti
halnya komoditas serealia lainnya, tanaman jewawut umumnya berumur pendek.
Tanaman dapat segera dipanen setelah bulirnya memasuki fase masak fisiologis
yang ditandai dengan perubahan warna biji menjadi krem keemas an (foxtail
millet) atau ciri lainnya yang menandakan tanaman siap untuk dipanen.
Jewawut
dapat dipanen pada usia 75-90 hari setelah masa tanam (Cash et al dalam USDA,
tanpa tahun). Jewawut lebih mudah dipanen karena memiliki batang yang pendek
dan pipih. Pemanenan jewawut dapat dilakukan secara manual dengan sabit atau
menggunakan alat panen jewawut. Pemanenan dilakukan dengan memotong batang
dibawah pangkal malai, dengan jarak 15-25 cm dari pangkal malai.
Baca Juga:
Sebagian
masyarakat melakukan panen Ketika tanaman menjelang masak fisiologis karena
memberikan cita rasa yang lebih enak dimakan dibandingkan dengan bulir jewawut
yang panennya terlalu masak (Curtis et al. 1940). Jewawut dapat menghasilkan
bulir hingga 800-900 kg/ha dan brangkasan 2.5 ton/ha (FAO (2011) dan
Baltensperger (2012).
Setelah pemanenan jewawut di lapangan, lahan dapat ditanami kembali dengan membersihkan rumput dan gulma dengan menggembalakan hewan ternak untuk merumput disekitar lahan tanam jewawut tersebut untuk membantu merebahkan tangkai jewawut dan menyeragamkan pertumbuhan tanaman jewawut. Tangkai jewawut yang direbahkan atau dipangkas mencapai tinggi 6 hingga 8 inchi (Willson 2014).
Terdapat tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam melakukan pasca panen jewawut yaitu pengeringan, perontokan dan penyimpanan. Pengeringan jewawut dilakukan segera setelah proses pemanenan selesai. Proses pengeringan akan lebih baik jika brangkasan jewawut dikering anginkan terlebih dahulu hingga bijinya rontok dengan sendirinya. Selain mempermudah dalam proses pemisahan bulir jewawut dari batang, brangkasan yang dihasilkan juga memiliki kualitas yang lebih baik karena menurunkan kadar air brangkasan. Lama pengeringan tergantung kondisi sinar matahari, dan pengeringan dilakukan selama ± 60 jam untuk menurunkan kadar air biji menjadi 12 %.
Setelah proses pengeringan, dilakukan perontokan biji dengan cara manual atau dengan menggunakan mesin perontok. Pada beberapa wilayah di Indonesia, petani umumnya merontok jewawut dengan menggunakan alu dan lesungy. Pemukulan dilakukan secara berulang hingga biji terlepas dari malainya dan dilanjutkan dengan penampian untuk memisahkan kotoran, debu serta benda asing yang terikut. Biji yang telah dibersihkan selanjutnya disimpan pada wadah yang bersih dengan kondisi ruang simpan yang mempunyai sirkulasi udara yang baik.
Di
negara Afrika dan India, tanaman jewawut digunakan sebagai sumber pakan burung,
jerami, atau sebagai tanaman budidaya darurat. Sementara itu di negara
berkembang, jewawut dikonsumsi secara terbatas oleh masyarakat dari golongan
ekonomi rendah (Baker 2004). Kandungan nutrisi jewawut setara atau bahkan lebih
dari sereal pokok yang lazim dikonsumsi seperti beras dan gandum.
Penulis: Muhammad Azrai, Muhammad Aqil, Suarni, Roy Efendi, Bunyamin Z dan Rahmi Y. Arvan
0 Comments