Ad Code

Responsive Advertisement

Hukum Pemerintahan Desa: Perspektif, Konseptualisasi dan Konteks Yuridis

DESENTRALISASI: ORIGINALITAS KONSEP

Desentralisasi sering dianggap sebagai bentuk konkrit dari mekanisme pemisahan kekuasaan negara. Sebagai suatu konsep, terutama di lingkungan negara berkembang, desentralisasi telah diperdebatkan sejak lama dan ditilik dari segi pertumbuhan pemahamannya, telah berkembang melalui 3 (tiga) gelombang. Ketiga gelombang pertumbuhan desentralisasi itu digambarkan oleh Syarief Hidayat sebagai berikut.

Gelombang pertama, terjadi pada tahun 1950-an, di mana desentralisasi telah mendapatkan perhatian khusus dan telah diartikulasi sebagai konsep yang paling relevan untuk memperkuat dan memberdayakan pemerintahan daerah. Sementara itu, gelombang kedua desentralisasi, terutama di negara berkembang, terjadi pada dasawarsa 1970-an, penerimaan konsep desentralisasi lebih bervariatif, dan pemahamannya lebih ditujukan sebagai alat untuk pencapaian tujuan pembangunan nasional. Sedangkan gelombang desentralisasi yang ketiga, ditandai dengan perluasan kajian, di mana desentralisasi tidak lagi menjadi monopoli focus ilmu politik dan administrasi negara saja, tetapi telah menarik perhatian disiplin yang lain. Dapat disebut di sini misalnya, ekonomi, hukum, sosiologi, dan antropologi.

Untuk keperluan studi ini, maka saya tidak akan menguraikan satu persatu bagaimana di siplin ilmu pengetahuan itu memahami desentralisasi, akan tetapi lebih difokuskan satu hal saja yaitu desentralisasi dari perspektif pemerintahan dan administratif.

Baca Juga:

Sosiologi Hukum:Bekerjanya Hukum di Tengah Masyarakat

Menurut Mawhood, desentralisasi merupakan devolution of power from central to local government. Dalam perspektif yang lebih luas, Rondinelli dan Cheema merumuskan desentralisasi sebagai the transfer of planing, decision making, or administrative authority from central goverment to its field organisations, local administrative units, semi autonomous and parastatal organisations, local government, or non-government organisations. Dalam uraian selanjutnya, Rondinelli dan Cheema merumuskan adanya 4 (empat) bentuk desentralisasi.

Pertama, deconcentration, yaitu distribusi wewenang administrasi dalam pemerintahan. Kedua, delegation to semi autonomous or parastatal organisations, yaitu pendelegasian otoritas manajemen dan pengambilan keputusan atas fungsi-fungsi tertentu yang sangat spesifik, kepada organisasi-organisasi yang secara langsung tidak di bawah kontrol pemerintah. Ketiga, devolution, yaitu penyerahan fungsi dan otoritas (the transfer of function and authorities) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sedangkan bentuk keempat, adalah swastanisasi, yaitu penyerahan beberapa otoritas dalam perencanaan dan tanggung jawab administrasi tertentu kepada organisasi swasta.

Baca Juga:

Hukum Ketenagakerjaan dan Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial di Indonesia

Saya berpendapat bahwa makna desentralisasi beserta bentukbentuknya sebagaimana dikemukakan oleh Rondinelli dan Cheema di atas cukup komprehensif dan luas. Sifat komprehensif dan luas nampak dari konseptualisasi desentralisasi yang disorot dalam aspek teknik, spasial, dan administratif, sebagai elemen utama. Selanjutnya, makna desentralisasi juga mencakup pendelegasian wewenang tidak hanya mengenai teknis pemerintahan tetapi juga mencakup organisasi semi pemerintah, bahkan di dalam sector swasta.

Namun demikian saya menganggap cakupan desentralisasi seperti dikemukakan oleh Rondinelli dan Cheema di atas tidak menggambarkan secara penuh persoalan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Saya setuju dengan Slater, ketika mengatakan bahwa aspek penting yang dilupakan oleh definisi kedua pakar tersebut adalah mengabaikan the transfer of power from

central to peripheral state. Lugasnya, definisi itu mengabaikan the territorial dimension of state power, seperti dipaparkan oleh Conyers.

Di samping itu, mengutip pendapat Henry Maddick, antara desentralisasi dengan dekonsentrasi dapat dibedakan. Desentralisasi dipandang sebagai “pengalihan kekuasaan secara hukum untuk melaksanakan fungsi yang spesifik maupun risudal yang menjadi kewenangan peemrintah daerah”, sedangkan dekonsentrasi merupakan the delegation of authority adequate for the discharge of specified functions to staff of a central department who are situated outside the headquaters.

Mengenai perbedaan desentralisasi dan dekonsentrasi ini, dengan mengutip pendapat Parson, Syarif Hidayat dan Bhenyamin Hoessen menyatakan bahwa dari aspek politik desentralisasi merupakan sharing of the govermental power by a central rulling group with other groups each having authority within a specefic area of the state. Sementara dekonsentrasi merupakan the sharing of power between members of the same rulling group having authority respectively in different areas of the state.

Seperti paparan di awal paragraf bahwa desentralisasi merupakan bentuk nyata dari pelaksanaan prinsip pemisahan kekuasaan dalam suatu organisasi negara. Dalam literatur klasik, kecenderungan desentralisasi dapat dikaitkan dengan bentuk negara, yang secara normatif merupakan ajaran baku dalam ilmu negara. Menurut Miriam Budiardjo (2008), pemisahan itu dilaksanakan secara horisontal dan vertikal. Pemisahan kekuasaan secara horisontal kekuasaan dibagi menurut fungsinya yaitu legislatif, eksekutif, dan yudisial. Sementara itu, pemisahan kekuasaan secara vertikal tercermin dalam pembagian kekuasaan berdasarkan tingkat atau hubungan antartingkatan pemerintahan. Dalam konteks pemisahan kekuasaan secara vertikal itulah maka perbincangan mengenai bentuk negara menemukan relevansinya.

Silahkan Dapatkan E-Booknya KLIK DISINI

Penulis: Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum., Dila Eka Juli Prasetya, S.H.

Post a Comment

0 Comments

Close Menu